Dari Serambi Pondok ke Ruang Kuliah Cerita Rindu Ahmad Febryan pada Al-Mujahidin di Tengah Kesibukan Semester Tiga -->

Kategori Berita

Iklan Semua Halaman

Masukkan kode iklan di sini. Direkomendasikan iklan ukuran 970px x 250px. Iklan ini akan tampil di halaman utama, indeks, halaman posting dan statis.

Iklan

Dari Serambi Pondok ke Ruang Kuliah Cerita Rindu Ahmad Febryan pada Al-Mujahidin di Tengah Kesibukan Semester Tiga

 


Dia Ahmad Febryan, mahasiswa semester tiga IAIN Pontianak, berjalan pelan di antara bangunan kampus yang modern dan hiruk-pikuk para mahasiswa yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Tetapi dibalik semua itu, ada sesuatu yang tidak pernah padam dalam dirinya: rindu pada Pondok Pesantren Al-Mujahidin di Ketapang tempat ia pernah tinggal, belajar, dan menempa karakter sebagai santri.

Setiap kali angin sore berhembus melewati pepohonan trembesi kampus, sanubari Febryan seperti ditarik kembali ke masa lalu. Ia teringat suasana pondok yang sederhana: suara para santri mengaji selepas maghrib, aroma kayu basah yang melompati halaman pondok setelah hujan, dan hiruk pikuk kehidupan kamar yang tak pernah benar-benar sunyi. Namun yang paling membuatnya rindu adalah sosok yang menjadi cahaya bagi seluruh santri Al-Mujahidin : Pengasuh PP Al-Mujahidin, KH Naweri Sidin, S.Ag .

Sosok pengasuh itu selalu memiliki ketenangan yang mendamaikan. Dengan caranya yang lembut namun tegas, ia membentuk karakter para santri untuk menjadi pribadi yang beradab. Nasihat beliau kerap terngiang dalam hati Febryan, terutama kalimat yang selalu beliau ulang-ulang, “Ilmu itu harus ditemani adab. Kalau adab hilang, ilmunya tak akan sampai ke hati.” Kalimat itu selalu menjadi pegangan bagi Febryan dalam menjalani dunia kampus yang penuh tantangan.

Di lingkungan kampus, banyak hal yang membuat rindu itu kembali muncul. Saat menunggu dosen yang belum datang, ia teringat masa di mana ia duduk di serambi pondok, menanti KH Naweri Sidin, S.Ag membuka kitab. Saat berjalan menuju masjid kampus, ia seperti mendengar gema pengerasan suara pondok yang suaranya sering pecah namun sangat dirindukan. Bahkan aroma makanan kantin kampus pun memanggil ingatannya pada masakan sederhana dapur pondok—yang dulu menjadi penyelamat setelah belajar malam panjang.

Di kos, malam-malam terasa lebih sunyi daripada suasana kamar pondok yang penuh tawa dan percakapan. Dulu, kebiasaan bangun subuh tak pernah bisa dilewatkan karena pengurus pondok selalu sigap di sekitar kompleks kamar. Saat ini, ia harus melawan rasa malasnya sendiri, dan terkadang itu membuatnya sadar betapa besarnya jasa pondok terhadap kedisiplinan hidupnya.

Suatu sore, setelah matahari condong ke barat dan siluet langit mulai memudar, Febryan duduk di tepi danau kampus kecil. Ia membuka mushaf kecil yang selalu ia bawa mushaf yang dulu diberikan sebagai hadiah ketika ia menyelesaikan hafalan juz pertamanya. Angin lembut menerpa halaman mushaf, dan suasana itu membuatnya seolah kembali berada di serambi pondok, diiringi suara santri yang mengulang-ulang hafalan.

Dalam keheningan itu, ia menyadari satu hal: kerinduan bukan sekadar perasaan, melainkan hubungan antara masa lalu dan perjalanan yang ia jalani sekarang. Dunia kampus memberikan ilmu dan kesempatan baru, tetapi pondok memberikan fondasi yang membuatnya berdiri tegak. Tanpa pondok, ia mungkin tidak akan menjadi mahasiswa yang mampu menghadapi kerasnya kehidupan akademik.

Febryan menatap permukaan danau yang tenang. Ia merasa seperti melihat bayangan pondoknya sendiri: bangunan sederhana, halaman yang luas, dan sosok KH Naweri Sidin, S.Ag berjalan perlahan sambil menebarkan senyum penuh doa kepada para santri.

Perasaan hangat di dada. Ia tahu, cepat atau lambat, ia akan kembali menginjakkan kaki ke Al-Mujahidin bukan hanya untuk melepaskan rindu, tetapi untuk kembali merasakan suasana yang telah membentuknya menjadi manusia yang ia banggakan.

Malam itu, saat ia menutup mushaf dan kembali ke kos, hatinya terasa lebih lapang. Ia tahu bahwa kerinduan yang selama ini ia simpan bukanlah beban melainkan cahaya kecil yang terus memandu langkahnya. Sebagai santri yang kini sedang menempuh jalan baru, Febryan percaya bahwa setiap jejak perjalanan hidupnya akan selalu terikat pada pondok, pada ilmu, pada adab, dan terutama pada doa seorang pengasuh yang tulus mencintai santri-santrinya.

Dan di kamar kos yang sunyi itu, Febryan tersenyum. Sebab ia tahu, sejauh apa pun langkahnya, Pondok Pesantren Al-Mujahidin akan selalu menjadi rumah tempat hatinya pulang

Penulis: Riyan