Ketika Ilmu Menjadi Cahaya Kisah Alumni Mengenang Bimbingan KH Naweri Sidin, S.Ag di Pondok Al-Mujahidin -->

Kategori Berita

Iklan Semua Halaman

Masukkan kode iklan di sini. Direkomendasikan iklan ukuran 970px x 250px. Iklan ini akan tampil di halaman utama, indeks, halaman posting dan statis.

Iklan

Ketika Ilmu Menjadi Cahaya Kisah Alumni Mengenang Bimbingan KH Naweri Sidin, S.Ag di Pondok Al-Mujahidin

 


Adakalanya Para alumni Pondok Pesantren Al-Mujahidin selalu sepakat pada satu hal: setiap kenangan tentang masa mondok mereka pada akhirnya akan bermuara pada satu sosok yang tak tergantikan KH Naweri Sidin, S.Ag , sang pengasuh yang selama bertahun-tahun menjadi cahaya, guru, dan orang tua bagi para santri. Sosok yang tidak hanya mengajarkan kitab, tetapi juga memperhalus akhlak, membimbing hati, dan memperbaiki cara memandang hidup.

Setiap pagi ketika beliau memasuki ruang ngaji, seluruh santri seolah tersapu ketenangan. Langkah beliau pelan, penuh wibawa namun lembut. Para santri yang tadinya ribut langsung mendekat duduk, membuka kitab dengan penuh khidmat. Di hadapan mereka, KH Naweri Sidin bukan sekadar guru beliau adalah pemegang kunci ilmu yang turun temurun yang dijaga dengan adab dan rasa hormat. Para alumni selalu mengenang cara beliau membuka kitab: hati-hati, penuh penghormatan, seolah-olah setiap halaman berisi cahaya yang harus dijaga kemurniannya.

Saat mengajar kitab kuning, beliau tidak pernah memaksa santri langsung paham. Beliau mengulangi penjelasannya berkali-kali, terutama dengan kehidupan, lalu menutupnya dengan nasihat yang tersimpan jauh di dalam hati. Tidak sedikit alumni yang mengakui bahwa banyak keputusan besar dalam hidup mereka terinspirasi dari petikan kalimat-kalimat beliau ketika mengajar. Kalimat yang sederhana, namun mengandung hikmah yang tak pernah hilang oleh waktu.

Ada kalimat yang selalu diingat hampir semua alumni Ilmu itu bukan untuk sombong, tapi untuk membantu orang lain . Nasihat itu sering dia sampaikan ketika ada santri yang terlalu bangga dengan hafalannya atau kepintarannya. Beliau tidak ingin santrinya hanya cerdas, tetapi juga beradab. Bagi beliau, adab yang mendahului ilmu bukan hanya teori itu adalah prinsip yang harus hidup dalam diri setiap santri Al-Mujahidin.

Di luar kelas, para santri merasakan bahwa pengasuh adalah sosok yang benar-benar peduli. Ketika ada santri sakit, beliau datang menengok meskipun malam sudah larut. Ketika ada santri sedih karena masalah keluarga, beliau duduk mendengarkan, memberi ketenangan tanpa banyak kata. Beliau tidak hanya membimbing dengan ceramah, namun dengan perhatian dan kasih sayang yang tulus. Banyak alumni yang sampai hari ini masih merasa bahwa kehangatan pengasuh adalah salah satu hal yang paling membantu mereka bertumbuh menjadi pribadi yang kuat.

Kini waktu telah berlalu. Para santri yang dulu duduk bersila di hadapan beliau kini telah menyebar ke berbagai daerah menjadi guru, pekerja, pelajar. Namun setiap kali mereka mengenang masa mondok, nama KH Naweri Sidin selalu muncul pertama. Ada rasa rindu yang tak bisa dijelaskan, ada rasa terima kasih yang tidak pernah cukup diucapkan.

Saat para alumni pulang ke pesantren, mereka selalu menyempatkan diri melihat kembali ruang kelas, masjid, dan halaman tempat mereka dulu belajar bersama. Setiap tempat seolah membawa suara beliau, membawa kembali kenangan ketika beliau membimbing mereka membaca kitab paragraf demi paragraf. Ketika akhirnya mereka kembali duduk di hadapan beliau, meski waktu telah banyak berubah, senyumnya tetap sama tenang dan penuh doa.

Bagaimana kabarmu sekarang?” itulah pertanyaan yang selalu beliau ajukan Dan entah mengapa, pertanyaan itu selalu terasa seperti pulang ke rumah Para alumni tahu, apa pun pencapaian mereka hari ini, ada bagian penting dari diri mereka yang dibentuk oleh bimbingan pengasuh. Setiap nasihatnya menjadi penuntun, setiap tegurannya menjadi peringatan, setiap doa beliau menjadi kekuatan yang tidak terlihat tetapi selalu terasa.

Bagi para santri dan alumni Al-Mujahidin, KH Naweri Sidin, S.Ag bukan hanya pengasuh. Beliau adalah pelita yang membimbing mereka melewati masa muda menuju kedewasaan. Pelita yang tetap menyala di dalam hati, meski jarak dan waktu terus berjalan Dan pelita itu akan terus kenang mereka selamanya.

Penulis: Riyan